Alasan Millenials Indonesia atau Kids Jaman Now Banyak Diberi Cap Buruk : Gererasi Micin!


Bukan rahasia lagi bahwa millenials mendapat stereotype baru : Generasi Micin!

Generasi millenials adalah generasi yang hidup dari sensasi. Jika dulu baik di negara timur maupun barat masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, tetapi tidak jaman sekarang. Kids jaman now, sebutan netizen Indonesia untuk generasi saat ini yang seakan tengah melebih-lebihkan eksitensi mereka sebagai anak muda masa kini yang butuh berekspresi. Nyatanya, semua gaya yang mereka tunjukkan tak pelak menjadi tamparan balik karena terlalu banyak pencitraan yang kurang berkenan dan melewati batas norma di masyarakat.

Generasi Gila Pengakuan, Terlalu Banyak Pencitraan.


Gaya para pemuda dan pemudi millenials bisa dilihat dari sosial media mereka. Hampir setiap hari mereka memamerkan statusnya baik berupa penampilan, lokasi, bahkan perasaan. Tak jarang mereka melakukannya demi impresi, hal yang sebenarnya dibutuhkan oleh sebuah produk, bukan yang sewajarnya dilakukan seseorang yang bukan siapa-siapa. Mereka mengemas diri mereka selayaknya berjualan, membangun sebuah image atau persona yang menjadikan mereka khas dan mudah diingat.

Hal ini tidak selalu berujung buruk. Banyak artis yang muncul dari keahlian mereka "menjual diri" di sosial media. Ada yang sukses karena bakatnya, dan lebih banyak lagi yang sukses karena penampilannya. Beberapa yang beruntung bisa sukses karena sensasi yang mereka buat-buat sendiri. Well, para milenialls mengakui bahwa mereka menikmati hal-hal tersebut. Meskipun tak jarang mereka mengakui bahwa pengakuan dari apa yang mereka unggak ke sosial media sangatlah penting. Itulah mengapa mereka kebanyakan memilih untuk bermain dengan pencitraan.


Generasi Konsumtif, Banyak Gaya Alias Banyak Belanja.


Tingkat konsumsi generasi milenialls diakui lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya. biar dikata ekonomi sedang susah, tapi bisa diamati aliran uang pada rentang usia millenials sangat tinggi. Generasi ini dikenal sangat impulsif dalam hal belanja, apalai yang terkait dengan trend. Semua barang mereka kaitkan dengan merk, mulai dari pakaian, gadget hingga makanan dan minuman. Itulah mengapa beberapa gerai pakaian serta minuman begitu dimanja dengan kesukaan anak muda dalam berbelanja.

Lebih dari itu, perkembangan dunia jual beli online juga turut menjamur menanggapi permintaan pasar. Mereka bangun beramai-ramai menjual berbagai macam produk untuk memuaskan nafsu bergaya. Senggol bacok para penjual barang di pasar digital ini juga turut membawa beberapa artis sebagai model endorse mereka. tidak hanya artis televisi, tapi selebgram dan seleb vlog yang emmiliki bnayak followers dan subscribers turut serta mendorong para millenials untuk selalu membeli, membeli dan membeli. 

Generasi Penuh Bully, Lambe Julid Julita Jaya.


Persaingan baik lintas generasi maupun sesama generasi millenials memang terlihat nyata. Kalau dulu, prestasi merupakan hal yang dibanggakan anak usia mereka, kids jaman now terbiasa membuat stigma goals yang cenderung nyeleneh dan membuat para orang tua harus mengelus dada. Kompetisi untuk meraih goals ini ternyata dibumbui dengan berbagai bentuk bullying. Dari bullying dengan perkataan, perbuatan, hingga bullying virtual di sosial media. Berbagai bentuk bully dari body shaming, hingga yang terparah adalah menebar kebencian dengan membuat akun haters terhadap sesuatu ternyata makin marak dilakukan. 

Istilah lambe atau bibir kemudian dikenal sebagai cap bagi para millenials yang suka bergosip dan membully. Bullying yang dilakukan, apalagi di sosial media memang kebanyakan sudah kelewat batas. Mereka seakan bisa bebas semaunya mengomentari orang lain, dengan menggunakan akun pribadi maupun akun palsu. Beberapa ikon ternama menjadi terkenal karena bisa memanfaatkan hatersnya untuk mengangkat nama mereka tanpa mempedulikan label negatif yang haters alamatkan, namun beberapa ada yang memilih jalan pembelaan seperti melaporkannya ke polisi. Istilah Julid, Julid Julita Jaya muncul sebagai tanda bahwa komentar mereka jahat.



Terlepas dari kekurangan millenials yang masih mencari jati diri, mereka sebenarnya menyimpan otensi besar untuk kemajuan bangsa. Para orang tua dan pendahulu sebenarnya hanya butuh memahami energi yang ebsar dan meledak-ledak dari para milennials ini harus segera diarahkan, dicarikan kegiatan positif sebagai penyaluran. Generasi micin hanyalah stigma hasil dari orang tua dan masyarakat yang hanya bisa berkomentar tanpa mau membantu mereka berubah. Hasil akhirnya, adalah dampak negatif yang kita perbincangkan diatas. Jadi, siapkah kita menghadapi perubahan gaya dari generasi kekinian?